Minggu, 07 Oktober 2012

Gang Rumah-Ku


Sudah hampir tiga tahun aku tidak menulis ini. Menulis Gang Rumah-ku. Menulis cerita yang sering aku berikan (secara diam-diam) padamu ketika kita SMP dulu. Yang pertama, aku ingin meminta maaf karena baru sempat menulis dan baru ingat kalau selama ini, aku tidak pernah lagi menulis Gang Rumah-ku. Aku juga sudah lupa, entah Gang Rumah-ku chapter keberapa yang aku tulis sekarang. Aku juga meminta maaf karena menyita waktumu dari dulu sampai sekarang untuk membaca Gang Rumah-ku. Maaf juga karena aku membiarkanmu membaca cerita-cerita aneh ini. Dan sekarang, aku menulis Gang Rumah-ku lagi untuk kau baca. Sesuai permintaanmu, aku tulis Gang Rumah-ku ini sebagai hadiah ulang tahunmu.

Sekarang, kau pasti sudah menjelma menjadi seorang perempuan dewasa. Bukan lagi gadis manis yang sering aku sebut pada Gang Rumah-ku ketika kita SMP dulu. Bukan lagi perempuan dengan tas ransel berwarna pink di punggung dan jepit rambut dengan warna senada bertengger apik di rambutmu. Kau juga pasti merasakan itu. Waktu yang mengubah bayi menjadi kanak-kanak, dan waktu pula yang mengubah gadis manis menjadi perempuan dewasa. Jangan pernah khawatirkan itu. Itu adalah siklus yang hidup berikan kepada kita. Percayalah, semesta telah mengatur segala hal dalam hidup kita dengan waktunya masing-masing.

Dua puluh tahun. Angka yang sangat indah. Seperti seekor angsa dan bulan purnama. Dua puluh tahun. Sebuah masa yang tidak singkat. Masa di mana kita menjalani sebagian besar proses pertumbuhan dan perkembangan kita. Dua puluh tahun. Waktu yang sangat penting. Karena pada titik-titik tertentu dalam dua puluh tahun ini, kita menentukan jalan mana yang akan kita pilih untuk kita jalani. Dua puluh tahun. Kesempatan yang Tuhan berikan pada kita. Untuk mendewasa.

Mungkin akan terasa lebih menyenangkan jika kita bisa berbagi cerita tentang masa-masa menjelang dua puluh tahun ini. Kau pasti akan bercerita tentang kuliahmu, tempat tinggalmu, dan tentunya teman lelakimu. Begitu pula diriku. Aku akan bercerita tentang duniaku. Tentang sajak-sajak, kampus, kenekatan-kenekatanku dan mungkin juga tentang hatiku.  Dan juga semua hal yang sering kita bicarakan sejak dulu. Namun kali ini adalah percakapan yang berbeda. Bukan lagi percakapan antara dua orang murid SMP melainkan percakapan antara dua orang perempuan yang baru saja mengecap arti kedewasaan. Akan ada banyak hal baru yang akan kita ceritakan. Dan gaya bicara kita, tentu akan jauh lebih dewasa.

Selamat merayakan usia. Selamat merayakan angka dua puluh. Semoga angka dua puluh bisa membawa kebahagiaan dan berkah yang berlimpah untukmu. Semoga angka dua puluh bisa mewujudkan semua cita-citamu. Semoga angka dua puluh bisa memberikan banyak pelajaran berharga untukmu.

Yang terakhir, aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu. Terima kasih karena sudah mau selalu menjadi penunggu setia Gang Rumah-ku. Terima kasih karena sudah memberiku ruang untuk mengeluh selama ini. Dan terima kasih sudah mau membaca tulisan ini sampai selesai.

Usia adalah angka yang mengikat hidup kita. Tapi usia tidak bisa mengikat jiwa kita untuk melampaui batas-batas angka itu. (poe)


Bali Utara, 25 September-7 Oktober
Hadiah Ulang Tahun ke-20 untuk Penunggu Setia Gang Rumah-ku, SA Nuri Andari

Sabtu, 21 Juli 2012

SADAR


SADAR
(menulis sambil menerawang alias menulis setengah sadar) Hari ini, eh bukan. Akhir-akhir ini banyak sekali “keajaiban” yang aku temui dan menemuiku. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Banyak sekali. “Keajaiban-keajaiban” itu seperti sebuah metamorphosis kupu-kupu yang awalnya hanya kau khayalkan dalam mimpimu lalu tiba-tiba khayalan itu berubah menjadi kenyataan yang tidak ku duga sama sekali.

(mulai sedikit sadar) Baiklah. Aku pernah mengatakan, bahwa apa yang kita khayalkan, apa yang kita pikirkan merupakan apa yang kita harapkan. Dan apa yang kita harapkan adalah doa kita atau sesuatu yang kita minta kepada Tuhan. Aku juga pernah mengatakan, kita harus “berhati-hati” dengan apa yang kita khayalkan (meskipun Cuma iseng mengkhayal) Karena, ya, khayalan adalah doa. Dan, (lagi) Tuhan mewujudkan khayalan iseng itu. Hhhhmmmm. Dan sekarang, aku, merasa, hhhmmmm, bersalah.

(Sudah lebih sedikit sadar) Sungguh! Aku tidak menyangka. Sama sekali tidak menyangka! Aku hanya iseng. Dulu, ketika mereka berbicara di depanku, aku hanya iseng membayangkan diriku berada di posisi mereka. Tidak tidak. Aku sama sekali tidak ingin benar-benar berada di posisi mereka. Aku tahu diri. Aku tahu kapasitasku. Aku tahu kesibukanku dan segala ketidakmungkinan lainnya. Sungguh! Benar-benar sungguh! Aku hanya sekadar mengkhayal. Hhhhmmm. Tapi, ya, aku akui aku yang salah. Aku tidak memperingatkan diriku. Aku tidak menegur diriku untuk tidak berkhayal yang macam-macam. Dan, ya, inilah hasilnya. Inilah akibatnya. Khayalan isengku menjadi kenyataan dan mau tidak mau, suka tidak suka, sekarang aku benar-benar berada di posisi itu dan bagian paling keras kepala dalam diriku memaksaku untuk melaksanakan tugas baruku dengan baik dan sepenuh hati. Ya, Sepenuh Hati.

(Sudah hampir sadar) Hhhhhmmmm. Kadang aku ingin melakukan semua pekerjaanku dengan setengah hati. Tidak sepenuh hati. Tidak terlalu peduli. Seperti membaca status-status yang numpang lewat di beranda fb atau timeline twitterku. Yang hanya akan aku baca jika aku sempat dan ingin membacanya. Aku tidak akan selalu membuka akun jejaring sosialku setiap saat untuk mengikuti perkembangan status teman-teman mayaku. Aku melakukannya hanya sebagai hiburan semata yang tentunya tidak menuntut keseriusan dan kesepenuh-hatian dari bagian paling keras kepala dalam diriku.

(sedikit lagi sadar) Tapi bagaimana dengan pekerjaan-pekerjaan ini??? Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya setengah hati??? Bagaimana mungkin aku tidak peduli??? Bagaimana mungkin aku bisa mengganggapnya seperti status-status teman-teman mayaku?? Tidak bisa! (lagi-lagi) Bagian paling keras kepala dalam diriku menuntutku untuk menjalaninya dengan sepenuh hati. Ya, sepenuh hati. Dan aku, yang selalu kalah dengan “si keras kepala itu” tidak bisa menolak dan aku pasti (harus) menjalaninya sepenuh hati. Ya, sepenuh hati dengan rasa kepedulian tingkat tinggi.

(Akhirnya sadar) Dan, ya, aku tahu, aku sadar, konsekuensi dari keseriusan itu, konsekuensi dari kesepenuh-hatian itu, konsekuensi dari rasa peduli tingkat tinggi itu adalah rasa sakit hati, lelah, jenuh, dan pengorbanan diri yang begitu besar. Aku tahu aku akan menerima beban yang bertubi-tubi, hujatan, kritik, dan tugas yang akan merampas sebagian besar waktuku.

(sepenuhnya sadar) Ya, walaupun demikian, aku lebih tahu, aku lebih sadar. Bahwa bagian paling keras kepala dalam diriku akan memenangkan pertarungan ini betapa pun konsekuensinya. Aku sudah tahu, aku sudah sadar, bahwa aku akan melakukan pekerjaan-pekerjaan itu seperti keinginannya; dengan SEPENUH HATI.

(poedidith, 12072012)

Rabu, 23 Mei 2012

Hadiah untuk Tahun ke-20 untukku dari Diriku


Sanur, 19 Mei 2012

Hadiah untuk Tahun ke-20 untukku dari Diriku

Akhirnya.....!!! Aku mewujudkan planning “celebrate my 20th-ku”. Ya, meskipun tanggal 14 Mei sudah berlalu sejak lima hari yang lalu, but no problemo. Aku senang hari ini. Hari ini aku sebut dengan “my day”, “me time”, “solitude time”. Hari ini aku merayakan tahun ke 20-ku dengan diriku sendiri. Aku melakukan kegiatan-kegiatan yang aku suka. Aku pergi ke toko buku, pergi ke warung makan cepat saji favoritku, dan yang terakhir akhirnya aku pergi ke pantai Sindhu. J
“Me time-ku” hari ini ku awali dengan pergi ke toko buku. Kurang lebih 3 jam ku habiskan untuk membaca-baca buku yang ingin ku baca. Hahahaha. Hal rutin yang aku lakukan ketika ke toko buku adalah langsung ke rak novel. Membaca satu atau dua buah novel yang menarik, membaca beberapa sinopsis novel, dan membeli sebuah novel yang memang ku rencanakan akan ku beli jauh hari sebelumnya. Kali ini aku memang sangat ingin membeli novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng. Novel itu sudah sangat ingin ku miliki sejak pertama kali aku membaca novel karya Clara Ng yang berjudul Gerhana Kembar. Entahlah, aku jadi jatuh cinta pada Clara Ng setelah membaca salah satu novelnya.
Seperti biasa, aku terserang galau di toko buku. Galau karena menemukan begitu banyak buku bagus, ingin membelinya, tapi apa daya anggaran tidak mencukupi. Sungguh! Itu galau paling maksimal. (Oya, sebelumnya aku sangat berterima kasih pada ibuku karena telah “menyuntikkan” dana padaku untuk membeli buku. Ya, seperti yang ku ceritakan pada tulisanku sebelumnya, aku termasuk orang yang sangat beruntung memiliki ibu yang mencintai buku dan tidak pernah melarangku membeli buku. Aku anggap buku yang ku beli adalah hadiah ulang tahun-ku yang ke-20 dari ibuku.) Hari ini aku menemukan banyak buku bagus yang nyaris mengalahkan Dimsum Terakhir sebagai kandidat buku yang akan aku beli. Tetapi akhirnya aku menguatkan niatku untuk membeli Dimsum Terakhir dengan pertimbangan skala prioritas, keinginan yang sudah lama terpendam, dan buku-buku yang lain itu bisa kubeli di lain kesempatan. hehehehe
Dan... Woooaalllaaa....! Dimsum Terakhir dengan cover terbaru kini sudah resmi menjadi milikku. Aku sangat senang J . Dan seperti biasa, ku tulis tempat dan tanggal pembelian buku itu di halaman pertamanya.
Setelah pinggangku sakit karena berdiri selama kurang lebih tiga jam di toko buku dan karena perutku sudah keroncongan, maka kuputuskan untuk pergi ke warung makan cepat saji favoritku di kawasan Sanur. Aku makan gratis hari ini karena kakakku memberiku sebuah kupon bazzar yang bisa ditukar dengan salah satu paket makanan di restoran cepat saji itu. Dari Denpasar, aku menuju Sanur dan kurang dari 20 menit aku tiba dengan selamat di tempat tujuan :D. Aku menukar kupon itu dengan seperangkat makanan yang kemudian ku makan dengan tidak berperikemakanan (maklum laper banget). Oya, karena saking ganasnya, aku juga memesan segelas eskrim. hehehehe. Setelah menghabiskan semua makanan itu, aku pun membuka mesin tik ku dan mulai menulis. Seperti biasa, aku menulis semua hal yang ingin aku tulis. Semua ide yang sebelumnya hanya aku simpan rapi di dalam kepalaku. Tulisan ini juga termasuk salah satu ide itu.
Ketika kurasa cukup menulis dan menikmati “me time-ku” di tempat ini, aku pun melanjutkan perjalananku ke pantai Sindhu. Pantai Sindhu terletak sangat dekat dengan warung makan cepat saji ini. Tidak lebih dari sepuluh menit aku sudah sampai di pantai Sindhu. Aku sangat suka pantai ini. Tenang. Tidak ada ombak. Dan berpasir putih, Aku juga menyempatkan diri berterima kasih pada pantai Sindhu Karena telah ikut campur tangan dalam pembuatan puisi “Sindhu Senja Hari” ku. Terima kasih, Sindhu J . Ingat, jangan katakan kepada kekasihku, kalau aku sering bercerita tentangnya padamu! hahahahaha.
Aku mengakhiri “me-time” ku hari ini dengan menikmati senja di pantai Sindhu. Aku membiarkan aroma laut, pasir, dan karang menyatu dalam tubuhku. Menciptakan sebuah citarasa yang sangat indah dan menenangkan. Ku biarkan ia menghadirkan kelebat-kelebat kenangan dalam pikiranku seperti slide show foto yang muncul silih berganti. Aku tersenyum merasakan itu. Ku pejamkan mataku. Selamat menjalani tahun ke-20 mu Ida Ayu Putri Adityarini, mendewasalah dalam pelukan semesta.

(Poedidith, Sanur, 19 Mei 2012)

Aku (Bukan) Pelupa!


Pura Samuan Tiga, 16 Mei 2012

Aku (Bukan) Pelupa!

Sore itu, aku dan keluargaku pergi bersembahyang di Pura Samuan Tiga. Pura ini terletak di desa Bedulu-Gianyar. Kami sekeluarga sembahyang kesana dalam rangka piodalan yang dilaksanakan di pura tersebut. Kami berangkat bertujuh yang terdiri dari aku, ayahku, ibuku, adikku, kakak iparku, dan dua orang keponakanku. Karena kami akan pergi ke pura menggunakan sepeda motor dan akan pulang pada malam hari, aku pun memutuskan untuk memakai kacamataku. Setelah semuanya siap, kami bertujuh pun berangkat ke pura Samuan Tiga. Jarak pura Samuan Tiga dari rumahku cukup dekat, kurang lebih 5 km.
Perjalanan menuju pura kami lewati dengan cukup lancar meskipun suasana lalu lintas di jalan menuju pura disesaki masyarakat yang juga hendak menghaturkan persembahyangan di pura Samuan Tiga. Suasana di dalam pura juga tidak terlalu berbeda dengan suasana di luar pura. Umat begitu banyak memenuhi area persembahyangan. Aku dan keluargaku pun mengantri untuk mendapat giliran sembahyang. Setelah menunggu kurang lebih tiga puluh menit, akhirnya tibalah giliran kami untuk bersembahyang. Di pura Samuan Tiga ini, kami sekeluarga bersembahyang sebanyak dua kali.
Persembahyangan pertama kami lakukan di pelinggih Ida Ratu Sri Sedana. Saat persembahyangan pertama inilah bermula keteledoranku dan kambuhnya penyakit pelupaku. Awalnya, persembahyangan berlangsung seperti biasa. Para pamedek bersembahyang dengan khusuk dipimpin oleh seorang pemangku. Seusai bersembahyang, para pamedek (termasuk aku) diperciki air suci (tirta) oleh para pemangku. Satu-persatu para pemedek mendapat giliran diperciki air suci. Sembari menunggu giliran diperciki air suci, aku pun melepas kacamata yang ku gunakan agar tidak basah oleh tirta. Aku kemudian menaruh kacamataku itu di atas pangkuanku dan aku menutupinya dengan selendang yang ku pakai di pinggangku. Akhirnya tiba giliranku diperciki tirta oleh pemangku. Tirta itu ku raup sebanyak tiga kali lalu kuusapkan di kepalaku.
Setelah nunas tirta, aku pun berdiri dan membantu ibuku mengambil sesajen. Aku tidak sadar bahkan tidak ingat pada kacamataku. Aku berlalu begitu saja mengikuti ayah dan ibuku menuju tempat persembahyangan yang kedua.
Tempat persembahyangan yang kedua ini terletak tidak jauh dari tempat persembahyangan yang pertama. Sampai di tempat persembahyangan yang kedua ini pun aku belum sadar bahwa kacamataku terjatuh. Aku membantu ibuku menyiapkan sarana persembahyangan dan mencari tempat duduk untuk bersembahyang. Ketika persembahyangan hendak dimulai, aku baru menyadari bahwa aku tidak memakai kacamata. Sontak saja, aku langsung teringat saat persembahyangan pertama tadi. Aku sangat yakin kacamataku terjatuh ketika aku berdiri setelah nunas tirta.
Aku panik, marah, sedih, takut, dan menyesal. Bukan karena kacamataku jatuh dan kemungkinan besar diinjak orang-orang yang berlalu lalang. Tapi aku menyesali diriku sendiri. Kenapa aku begitu teledor dan pelupa. Kenapa aku bisa melakukan hal bodoh di saat seperti itu. Aku memberi tahu ibuku. Dia menyuruhku untuk iklhas. Ah, ibuku memang selalu berkata seperti itu jika aku kehilangan sesuatu atau tidak dapat meraih sesuatu yang aku inginkan. Beliau berkata, “Jangan pikirkan itu. Tenangkan dirimu. Sekarang kita akan bersembahyang. Mohon pada sesuhunan di sini agar Beliau menunjukkan jalannya dan memberi kita keiklhasan. Jika memang benda itu seharusnya masih menjadi milikmu, kamu pasti akan menemukannya.” Perkataan ibu memang sedikit membuatku tenang. Tapi aku tetap saja memikirkan kacamataku. Minusku semakin parah. Aku sudah ketergantungan dengan kacamata itu. Aku tidak ingin merepotkan ayah dan ibuku untuk membeli kacamata baru. Jujur, saat itu aku bersembahyang sambil memikirkan kacamataku.
Segera setelah persembahyangan usai, aku bergegas mencari kacamataku di tempat persembahyangan pertama tadi. Aku tidak berharap banyak. Aku sudah iklhas jika aku menemukan kacamataku itu dalam keadaan mengenaskan. Kacamataku berbingkai penuh. Tetapi warna bingkainya bening, nyaris sama dengan warna kacanya. Sehingga jika tergeletak sembarangan, sangat sulit membedakannya dengan lingkungan sekitarnya. Apalagi di keramaian seperti itu.
Ayahku menemaniku ke tempat persembahyangan pertama. Sementara ibu, adik, ipar dan keponakanku menunggu di wantilan pura. Ku ingat-ingat dimana posisiku bersembahyang tadi. Ku cari-cari kacamataku dan akhirnya....!! Aku menemukannya. Aku menemukan kacamataku! Dan ajaibnya lagi, kacamataku masih utuh tanpa goresan dan retak sedikitpun! Puji Tuhan! Doaku terkabul. Perkataan ibuku memang benar. Di balik keiklhasan pasti ada jalan. Kacamataku jatuh di sela-sela paving yang di pasang berselang-seling dengan rumput. Kacamataku jatuh di bagian rumput itu yang memang sedikit cekung. Ia jatuh di atas tumpukan bunga dan canang yang berserakan. Mungkin itu yang menyebabkan ia terhindar dari injakkan kaki para pemedek yang sangat banyak berlalu lalang di sana. Tidak henti-hentinya aku mengucap syukur. Di rumahnya sendiri, Tuhan membuktikan keajaibannya. Aku hampir saja menangis terharu.
Setelah kudapatkan kembali kacamataku, aku dan ayahku pun menyusul keluargaku yang lain ke wantilan pura. Ibu langsung menanyakan tentang kacamataku. Beliau tersenyum ketika mengetahui aku menemukan kacamataku dalam keadaan selamat. Beliau kembali menasehatiku, “Benar kan yang ibu bilang? Apapun yang kita alami, kita harus iklhas. Mohon petunjuk kepada-Nya”. Aku hanya tersenyum sambil menahan airmata yang hendak keluar.
Di perjalanan menuju tempat parkir yang jaraknya kurang lebih 200 meter dari areal pura, aku dan ibu berbincang-bincang.
“Bagaimana perasaanmu tadi ketika kacamatmu hilang?”
“Aku sedih,menyesal, dan kecewa. Bukan karena kacamataku hilang. Tapi aku sedih karena keteledoranku dan kenapa aku begitu pelupa. Aku sering sekali seperti ini. Lupa dimana aku menaruh barang-barangku.”
“Kamu tidak boleh berkata seperti itu. Kamu tidak boleh memfonis dirimu pelupa. Karena dengan menyebut dirimu pelupa, berarti kamu memang menciptakan dan menginginkan dirimu menjadi pelupa. Mohon kepada Tuhan agar memberikan Ketajaman pikiran, ingatan yang tajam pada diri kita untuk mengingat hal-hal yang baik. Mohon pada Beliau untuk memberikan Sidhi sajeroning kayika, sidhi, sajeroning wacika, sidhi sajeroning manacika. Lakukan itu setiap hari. Tuhan pasti mendengarkan doamu.”
Nggih, Bu.”
Tempat parkir hampir di depan mata. Aku dan keluargaku bersiap-siap untuk pulang. Di perjalanan pulang, aku mencerna dan meresapi dan mensyukuri kejadian tadi. Kejadian tadi memberiku banyak pelajaran berharga dan juga menciptakan sebuah cerita bagi kacamataku. Dalam hati aku berkata, “ Tuhan, berilah aku ingatan yang tajam untuk mengingat sesuatu yang seharusnya aku ingat dan berilah aku keiklhasan yang tidak terbatas untuk melupakan sesuatu yang tidak seharusnya aku ingat.”


Poedidith
(Sanur, 19 Mei 2012)

Senin, 05 Maret 2012

Kepada Hujan Bulan Mei dan Cerah Bulan Desember-ku

Bisakah kau menjadi setitik hujan di bulan Mei untukku?
Atau menjadi secercah cerah di bulan Desember untukku?
Bisakah kau??
Hanya untukku???

Sekali ini saja, aku ingin menjadi seorang egois
Layaknya anak kecil yang mempertahankan permen-permen di tangannya
Aku tidak akan memberikan hujan bulan Mei-ku
Aku tidak mau membagi cerah bulan Desember-ku
Itu semua hanya milikku

Aku tidak peduli orang lain terbakar terik matahari bulan Mei
Atau kesal pada derasnya hujan bulan Desember
Aku tidak peduli
Itu urusan mereka

Biarkan saja semesta marah padaku
Dan mengutukku karena telah lancang melawan arus
Aku hanya ingin kau yang menjadi hujan bulan Mei-ku
dan cerah bulan Desember-ku

Hujan bulan Mei-ku hanyalah milikku
Cerah bulan Desember-ku juga hanya milikku
Dan kau??
Bisakah kau??
Menjadikan itu dirimu??
Hanya untukku???


North Bali, 06032012
(PoE)

Kamis, 01 Maret 2012

Apa yang aku inginkan sekarang? Aku ingin memejamkan mataku lalu memohon pada Tuhan agar ketika aku membuka mata, kau ada di hadapanku.

Sindhu, 12 Februari 2012
01.48 am.

Senin, 27 Februari 2012

"i"

 "i"

Hidup memang tak sebatas pagi
Yang datang samar-samar membawa matahari
dan burung-burung gereja yang mulai bernyanyi
Nafas-nafas juga tidak akan habis
pada pukul sepuluh atau saat minum teh sore hari

Hari ketika satu persatu putik-putik padi kian berisi
Bulir-bulirnya bernas menampung berkah bumi
Maka berbahagialah mereka, wahai anak-anak petani
Menyusuri pematang-pematang dan air yang mengalir
Melempar senyuman tanda siap menghalau sepi

Sepi bukanlah masalah sendiri
Apalagi masalah kekasih
Sepi adalah ketika kau tidak bisa mengendalikan diri
dan mengekang hati untuk sebuah inspirasi
Sepi bukan juga masalah tetangga sebelah kanan atau kiri
Yang pergi malam pulang pagi
Sepi juga adalah saat kita bisa memberi tapi tidak berbagi

Berbagi sudah tidak lagi menjadi budaya negeri
Apalagi makanan sehari-hari
Berbagi hanya untuk diri sendiri bukan orang lain
Berbagi duit berbagi tempat dan berbagi cinta kasih
Berbagi saat perlu lalu pergi jika tidak perlu lagi

Lagi dan lagi selalu seperti ini
Mencari namun tak pernah menemui
Menunggu namun tak pernah menanti
Lelah sudah membaca abjad berkali-kali
a b c d e f g h i i i i i i i i i i i i i i i i
i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i
i !

PoE
(North Bali, 20,26,27 Februari 2012)

Selasa, 21 Februari 2012

ANJING


30 Januari 2012-22 Februari 2012
“Saya sangat heran melihat orang tega melihat binatang sengsara. coba bayangkan seandainya dia yang punya anak apakah dia tega membuang anaknya seorang. anak yang dilahirkan dengan susah payah begitu juga binatang walaupun seekor binatang mereka masih punya pikiran keibuan. binatang sayang pada anaknya meskipun betina atau jantan tapi mengapa manusia tidak seperti itu. Semestinya manusia2x itu ditukar mental dan fisiknya dengan binatang dan manusia yang berwatak binatang itu akan merasakan bagaimana sakitnya kalalu anak-anaknya dibuang percuma tanpa perlindungan”
Aku tidak sengaja menemukan tulisan itu pada sampul belakang sebuah buku pelajaran Agama Hindu kelas 5 SD di perpustakaan kecil di rumah. Aku sedang menyelesaikan cerpenku. Karena bosan dan tidak mendapat inspirasi, iseng-iseng kubuka buku-buku pelajaran yang memang banyak tersimpan disini. Ya, aku termasuk orang yang beruntung karena memiliki ibu yang sangat mencintai buku. Beliau menyediakan sebuah ruangan berukuran kurang lebih 2x3 meter khusus untuk tempat buku. Buku-buku pelajaranku sejak aku SD hingga SMA ditaruh di sebuah rak kayu di perpustakaan mini ini. Buku-buku dan dokumen-dokumen milik ayah, ibu, dan adikku juga di taruh disini.
Tapi, kali ini bukan perpustakaan mini di rumahku yang akan aku ceritakan. Ini tentang tulisan yang tidak sengaja kutemukan di sampul belakang sebuah buku pelajaran agama Hindu kelas 5 SD itu.
Aku ingat sekali. Tulisan itu adalah tulisanku. Hah, saat membacanya, entahlah, aku ingin tertawa tetapi aku juga kaget. Ingin tertawa karena….hehehehe, benar-benar struktur kalimat yang mencerminkan bahwa itu adalah kalimat-kalimat yang dibuat oleh seorang anak kelas 5 SD. Tapi aku juga kaget (bukan sombong ya J ) diksi atau pilihan kata-kataku saat itu bukanlah kata-kata yang sudah diakrabi oleh anak kelas 5 SD! Kata-kata itu terlalu “tua” untukku saat itu. dari mana aku dapat kata “mental dan fisik”? dari mana aku dapat kata “pikiran keibuan”? Aku sendiri bingung. Atau mungkin otakku sangat cepat merespon acara-acara di televisi atau sangat cepat terpengaruh oleh cerita-cerita yang sering kubaca di majalah anak-anak?? Ah, entahlah. Yang jelas aku sudah menulisnya. Dan yang paling penting kuceritakan adalah mengapa aku sampai menulis tulisan ajaib itu.
Begini ceritanya. Dulu aku punya seekor anjing betina. Namanya Zona. Ia memiliki bulu hitam yang sangat mengkilat. Aku memeliharanya sejak ia kecil. Dia anjing yang baik. Dia sesalu menyambutku ketika aku pulang dari sekolah. Tetapi terkadang ia juga menyebalkan. Ia suka menggigit sandalku dan sering menapakkan jejak kakinya yang kotor di lantai rumahku. Jika sudah seperti itu, ayahku adalah orang pertama yang marah-marah. Hah, salahku juga sebernarnya terlalu memanjakan anjingku itu. Iya, aku sangat memanjakannya. Membiarkannya naik ke rumah dan tidur sembarangan. Dan lambat laun, itupun menjadi kebiasaannya. Tapi anjingku itu juga mengerti, jika ayahku di rumah, ia tidak akan berani naik ke rumahku. Mungkin dia takut dipukul. hahahaha.
Seiring waktu berjalan, Zona si anjing kecil tumbuh menjadi anjing betina remaja, kemudian anjing betina dewasa yang tentunya siap untuk bereproduksi. Aku memang tidak mengikat atau memasukkan anjingku itu ke dalam kandang. Ya, mungkin itu juga yang membuatnya sangat mudah kawin dengan anjing kampung jantan yang sering berkeliaran di gang rumahku. Aku ingat sekali, anjingku itu seperti seorang perempuan cantik yang diperebutkan oleh banyak lelaki. Mungkin juga diantara anjing-anjing itu, Zona memang termasuk anjing betina yang cantik. Sehingga berebutlah para anjing jantan ingin mengawininya.
Dan terjadilah. Zona akhirnya hamil. Entah anjing mana yang menghamilinya. :D . Makin hari hari perut Zona semakin membesar. Mungkin ada 4-6 ekor anak anjing yang ada dalam perutnya. Aku senang sekali melihat anjingku hamil meski sejak hamil Zona jadi lebih galak. Ya, seperti ibu-ibu hamil pada umumnya lah, mungkin saja dia sedang ngidam. hahahahha.
Hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan berlalu, AKHIRNYA….. anak-anak Zona lahir kedunia! Dan aku sendiri yang membantu persalinannya! Karena Zona memang anjing salah asuhan, maka bayangkan saja, anjingku itu melahirkan anak-anaknya di dalam lemari bajuku! Oh My God! Lemari baju plastik bermotif bunga-bunga yang katanya dibelikan oleh ibuku sejak sebelum aku lahir itu kini menjadi kamar persalinan anjingku!! Dan ya, tepat sekali! Orang yang paling jengkel dengan kejadian ini adalah ayahku. Dia memarahiku karena terlalu memanjakan anjingku sehingga dia seenaknya melahirkan di dalam lemari baju. :D
Hahahaha. Tapi aku tidak merasa bersalah sedikitpun. Yang aku tau aku sangat senang saat itu. Aku melihat sendiri bagaimana anak-anak anjing itu keluar dengan masih dibalut oleh plasenta yang rupanya mirip plastik bening. Zona anjingku, lalu memakan plasenta-plasenta pembungkus anak-anaknya agar anak-anaknya bisa bernafas. Satu-persatu plasenta-plasenta itu ia lepaskan dari tubuh anak-anaknya. Aku membantu melepaskan plasenta-plasenta itu dan mengelap anak-anak anjing yang sudah bersih dari plasenta. Aku merasakan keajaiban yang luar biasa disana. Walaupun Zona hanya seekor anjing, tapi aku menangkap mata seorang ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya dari matanya. Aku seakan merasakan kelelahan dan kesakitannya saat ia berusaha mengeluarkan anak-anaknya dari dalam perutnya. Dan juga wajah bahagia saat ia menjilati anak-anaknya satu persatu.
Esoknya, aku memindahkan Zona dan anak-anaknya ke tempat yang telah aku sediakan. Aku pindahkan mereka agar ayahku tidak marah-marah lagi dan agar anak-anak anjingku tidak manja seperti Zona. Ayahku juga menyuruhku memindahkan lemari yang digunakan Zona untuk melahirkan. Selain karena sudah agak reot, ayahku juga tidak akan mau memakai lemari yang sudah digunakan sebagai tempat persalinan anjing :D.
Hari demi hari berlalu, anak-anak anjingku semakin besar dan terlihat lucu. Zona juga semakin bertambah galak. Aku lupa berapa jumlah anak anjingku waktu itu. Yang aku ingat, aku memberi nama “Bobo” pada salah satu anak anjingku. Bobo adalah anjing jantan. Nama itu aku beri karena aku sangat suka membaca majalah Bobo. Hahahahahaha. Satu demi satu anak-anak anjingku diminta oleh tetangga dan saudara-saudaraku untuk dipelihara. Aku sebenarnya sedikit sedih. Tapi ya apa boleh buat, demi masa depan anak-anak anjingku, demi saudara dan tetanggaku, dan juga demi ayahku karena beliau tidak suka ada banyak anjing di rumah, aku relakan saja anak-anak anjingku dipelihara orang lain. Hingga akhirnya hanya tersisa satu ekor anak anjingku, yaitu Bobo. Jadi, di rumahku ada dua ekor anjing yaitu Zona dan Bobo, anaknya.
Bobo tumbuh menjadi anjing jantan yang sehat. Dia anjing yang gemuk. Dia juga sangat friendly pada orang-orang rumah. Bulunya belang seperti macan. Warna bulunya selang-seling antara pirang dan cokelat tua.
Aku semakin bahagia karena memiliki dua ekor anjing yang selalu menyambutku setiap aku pulang sekolah. Zona juga sempat hamil lagi beberapa bulan setelah kehamilan pertamanya. Tapi saat persalinan yang kedua ini, Ia melahirkan di tempat yang “semestinya”. Ia mungkin takut diusir oleh ayahku jika melahirkan di dalam lemari lagi :D . Anak-anak Zona pada kehamilannya yang kedua ini kuberikan pada tetangga dan saudaraku yang ingin memintanya. Karena kata ayahku, cukup dua anjing saja yang ada di rumah. Aku juga tidak akan bisa merawat anak-anak anjing itu. Kali ini aku menuruti kata-kata ayah karena aku sudah merasakan sendiri bagaimana rasanya merawat dua ekor anjing sekaligus sementara kita masih kelas 5 SD.
Bobo kini sudah tumbuh menjadi anjing jantan dewasa dan Zona juga sudah semakin menua. Tapi mereka semakin nakal saja. Mereka lebih sering berada di luar rumah dan baru pulang ketika mereka bosan, lapar, atau ingin tidur. Saat pulang badan mereka biasanya sangat kotor dan bau. Entahlah. Mungkin mereka main ke sawah atau masuk ke dalam selokan di depan rumah. Jika sudah seperti ini, bisa ditebak ayahlah orang yang paling pertama mengusir mereka. Akupun sebenarnya enggan dekat-dekat dengan anjing-anjingku itu jika badan mereka bau. Pernah suatu ketika karena terlalu kesal, aku menyeret mereka agar mau mandi. Anjing-anjingku itu tidak terlalu suka dengan air. Aku harus mengikat mereka di pohon saat memandikan mereka. Ah, sungguh pekerjaan yang sangat menyebalkan.
Semakin hari aku semakin jarang memperhatikan kedua anjingku itu. Ya, mungkin karena aku sibuk belajar dan bermain ke rumah tetangga. Hingga suatu ketika, kejadian yang tidak diinginkan pun terjadi. Kejadian yang membuatku kehilangan anjing-anjingku itu satu-persatu.
Kejadian pertama terjadi saat anjing betinaku, Zona tertabrak sebuah kendaraan di jalan depan rumahku. Kedua kaki belakangnya pincang. Ia tidak lagi  bisa berjalan dengan normal. Zona memang pernah tertabrak oleh kendaraan sebelumnya. Tapi kali ini adalah tabrakan yang paling parah. Tabrakan yang memaksanya untuk menyeret kedua kaki belakangnya ketika berjalan (baca ngesot). Jujur, aku hampir menangis saat melihat itu. Aku berusaha mengobati lukanya. Kurawat ia semampuku. Kuberi ia makan. Semakin hari kondisinya memang semakin membaik. Tapi Zona adalah anjing yang tidak bisa diam. Meski dengan keadaan seperti itu dia tetap saja pergi kemana-mana. Walhasil, luka yang sebenarnya sudah mulai membaik, menjadi terinfeksi lagi karena kotoran-kotoran yang menempel disana. Aku juga semakin tidak sempat memperhatikannya. Akhirnya ayahku memutuskan untuk membuang Zona di dekat jembatan yang jaraknya kurang lebih satu kilometer dari rumahku. Awalnya aku tidak tahu bahwa ayahku membuang anjingku itu. Informasi bahwa anjingku sudah dibuang, ku dengar dari adikku. Aku menangis sejadi-jadinya di perpustakaan kecil di rumahku. Aku marah. Aku kesal. Aku sedih. Aku kecewa. Aku juga merasa bersalah pada anjingku itu. Semua perasaanku itu aku tulis di sampul belakang sebuah buku agama hindu kelas 5 SD yang isinya sudah kau baca pada awal tulisan ini.
Beberapa saat kemudian ibuku datang menasehatiku. Beliau mengatakan bahwa itu adalah yang terbaik untuk anjingku. “Kau juga tidak akan bisa selalu merawatnya, bukan? Ikhlaskan saja dia. Dan kamu harus berdoa supaya kelak dia lahir kembali menjadi mahluk yang lebih baik” Aku tidak menjawab perkataan ibuku. Aku tidak peduli. Aku terus saja menunduk dan menangis sambil menutupi buku agama yang kutulisi itu.
Setelah Zona, beberapa waktu kemudian aku kehilangan Bobo. Bobo hilang secara misterius. Kata uwakku, saat tengah malam seperti ada orang yang lewat di gang rumahku. Kemudian terdengar suara anjing menggonggong seolah ingin memberontak. Kata uwakku, orang-orang itu adalah pemburu anjing. Mereka memburu anjing untuk dijadikan sate. Aku tahu informasi itu keesokan harinya ketika aku mencari-cari anjingku. Dan bisa kau bayangkan, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain menangis sambil mencaci pemburu anjing brengsek itu! Hah, dan parahnya lagi aku sempat melontarkan sumpah serapah agar kelak mereka dilahirkan sebagai anjing.
Arrrggggh, aku juga kesal. Kenapa orang rumah tidak berusaha melihat apa yang terjadi di gang rumahku saat itu?? Kenapa tidurku begitu lelap sehingga aku tidak menyadari anjingku terancam di-sate?!?
Sejak kejadian-kejadian itu (jujur), aku tidak pernah lagi memelihara anjing di rumah. Aku trauma. Selain itu ayah juga tidak terlalu suka memelihara binatang di rumah (kecuali ayam-ayam kampung “bekas” upacara 42 hari keponakan-keponakanku yang katanya harus dipelihara). Dan sejak kejadian itu juga, entahlah, aku selalu curiga pada pedagang sate kambing. Mungkin kau bisa menebak-nebak kenapa aku merasa seperti itu.

Kini, hampir sembilan tahun kejadian itu berlalu. Rasa trauma dan curiga yang pernah aku rasakan juga semakin memudar. Tapi sampai saat ini, aku benar-benar tidak pernah lagi memelihara anjing di rumah. Yah, karena aku tahu aku akan semakin sibuk dan jarang berada di rumah. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Mungkin suatu saat nanti, ketika aku punya banyak waktu di rumah untuk merawat satu atau beberapa ekor anjing, aku akan memelihara anjing lagi. Karena percaya atau tidak, saat kita menganggap seekor binatang (bukan hanya anjing) sebagai sahabat baik kita, dia bahkan menganggap kita sebagai bagian dari dirinya J . (PoE)