Kumpulan inspirasi dalam bentuk tulisan. Karena menulis merupakan sebuah proses pengejawantahan kehidupan melalui kata-kata yang akan tetap bisa dibaca walau kita sudah mati.
Sudah hampir tiga tahun aku tidak
menulis ini. Menulis Gang Rumah-ku. Menulis cerita yang sering aku berikan
(secara diam-diam) padamu ketika kita SMP dulu. Yang pertama, aku ingin meminta
maaf karena baru sempat menulis dan baru ingat kalau selama ini, aku tidak
pernah lagi menulis Gang Rumah-ku. Aku juga sudah lupa, entah Gang Rumah-ku
chapter keberapa yang aku tulis sekarang. Aku juga meminta maaf karena menyita
waktumu dari dulu sampai sekarang untuk membaca Gang Rumah-ku. Maaf juga karena
aku membiarkanmu membaca cerita-cerita aneh ini. Dan sekarang, aku menulis Gang
Rumah-ku lagi untuk kau baca. Sesuai permintaanmu, aku tulis Gang Rumah-ku ini
sebagai hadiah ulang tahunmu.
Sekarang, kau pasti sudah menjelma
menjadi seorang perempuan dewasa. Bukan lagi gadis manis yang sering aku sebut
pada Gang Rumah-ku ketika kita SMP dulu. Bukan lagi perempuan dengan tas ransel
berwarna pink di punggung dan jepit rambut dengan warna senada bertengger apik di
rambutmu. Kau juga pasti merasakan itu. Waktu yang mengubah bayi menjadi
kanak-kanak, dan waktu pula yang mengubah gadis manis menjadi perempuan dewasa.
Jangan pernah khawatirkan itu. Itu adalah siklus yang hidup berikan kepada
kita. Percayalah, semesta telah mengatur segala hal dalam hidup kita dengan
waktunya masing-masing.
Dua puluh tahun. Angka yang sangat
indah. Seperti seekor angsa dan bulan purnama. Dua puluh tahun. Sebuah masa
yang tidak singkat. Masa di mana kita menjalani sebagian besar proses
pertumbuhan dan perkembangan kita. Dua puluh tahun. Waktu yang sangat penting.
Karena pada titik-titik tertentu dalam dua puluh tahun ini, kita menentukan
jalan mana yang akan kita pilih untuk kita jalani. Dua puluh tahun. Kesempatan
yang Tuhan berikan pada kita. Untuk mendewasa.
Mungkin akan terasa lebih menyenangkan
jika kita bisa berbagi cerita tentang masa-masa menjelang dua puluh tahun ini.
Kau pasti akan bercerita tentang kuliahmu, tempat tinggalmu, dan tentunya teman
lelakimu. Begitu pula diriku. Aku akan bercerita tentang duniaku. Tentang
sajak-sajak, kampus, kenekatan-kenekatanku dan mungkin juga tentang hatiku.Dan juga semua hal yang sering kita bicarakan
sejak dulu. Namun kali ini adalah percakapan yang berbeda. Bukan lagi
percakapan antara dua orang murid SMP melainkan percakapan antara dua orang
perempuan yang baru saja mengecap arti kedewasaan. Akan ada banyak hal baru
yang akan kita ceritakan. Dan gaya bicara kita, tentu akan jauh lebih dewasa.
Selamat merayakan usia. Selamat
merayakan angka dua puluh. Semoga angka dua puluh bisa membawa kebahagiaan dan
berkah yang berlimpah untukmu. Semoga angka dua puluh bisa mewujudkan semua cita-citamu.
Semoga angka dua puluh bisa memberikan banyak pelajaran berharga untukmu.
Yang terakhir, aku ingin mengucapkan
terima kasih kepadamu. Terima kasih karena sudah mau selalu menjadi penunggu
setia Gang Rumah-ku. Terima kasih karena sudah memberiku ruang untuk mengeluh
selama ini. Dan terima kasih sudah mau membaca tulisan ini sampai selesai.
“Usia
adalah angka yang mengikat hidup kita. Tapi usia tidak bisa mengikat jiwa kita untuk
melampaui batas-batas angka itu. (poe)”
Bali Utara, 25 September-7 Oktober
Hadiah Ulang Tahun
ke-20 untuk Penunggu Setia Gang Rumah-ku, SA Nuri Andari
(menulis
sambil menerawang alias menulis setengah sadar)
Hari ini, eh bukan. Akhir-akhir ini banyak sekali “keajaiban” yang aku temui
dan menemuiku. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Banyak sekali.
“Keajaiban-keajaiban” itu seperti sebuah metamorphosis kupu-kupu yang awalnya
hanya kau khayalkan dalam mimpimu lalu tiba-tiba khayalan itu berubah menjadi
kenyataan yang tidak ku duga sama sekali.
(mulai
sedikit sadar) Baiklah. Aku pernah mengatakan, bahwa
apa yang kita khayalkan, apa yang kita pikirkan merupakan apa yang kita
harapkan. Dan apa yang kita harapkan adalah doa kita atau sesuatu yang kita
minta kepada Tuhan. Aku juga pernah mengatakan, kita harus “berhati-hati”
dengan apa yang kita khayalkan (meskipun Cuma iseng mengkhayal) Karena, ya,
khayalan adalah doa. Dan, (lagi) Tuhan mewujudkan khayalan iseng itu. Hhhhmmmm.
Dan sekarang, aku, merasa, hhhmmmm, bersalah.
(Sudah
lebih sedikit sadar) Sungguh! Aku tidak menyangka. Sama
sekali tidak menyangka! Aku hanya iseng. Dulu, ketika mereka berbicara di
depanku, aku hanya iseng membayangkan diriku berada di posisi mereka. Tidak
tidak. Aku sama sekali tidak ingin benar-benar berada di posisi mereka. Aku
tahu diri. Aku tahu kapasitasku. Aku tahu kesibukanku dan segala
ketidakmungkinan lainnya. Sungguh! Benar-benar sungguh! Aku hanya sekadar
mengkhayal. Hhhhmmm. Tapi, ya, aku akui aku yang salah. Aku tidak
memperingatkan diriku. Aku tidak menegur diriku untuk tidak berkhayal yang
macam-macam. Dan, ya, inilah hasilnya. Inilah akibatnya. Khayalan isengku
menjadi kenyataan dan mau tidak mau, suka tidak suka, sekarang aku benar-benar
berada di posisi itu dan bagian paling keras kepala dalam diriku memaksaku
untuk melaksanakan tugas baruku dengan baik dan sepenuh hati. Ya, Sepenuh Hati.
(Sudah
hampir sadar) Hhhhhmmmm. Kadang aku ingin melakukan
semua pekerjaanku dengan setengah hati. Tidak sepenuh hati. Tidak terlalu
peduli. Seperti membaca status-status yang numpang lewat di beranda fb atau
timeline twitterku. Yang hanya akan aku baca jika aku sempat dan ingin
membacanya. Aku tidak akan selalu membuka akun jejaring sosialku setiap saat
untuk mengikuti perkembangan status teman-teman mayaku. Aku melakukannya hanya
sebagai hiburan semata yang tentunya tidak menuntut keseriusan dan
kesepenuh-hatian dari bagian paling keras kepala dalam diriku.
(sedikit
lagi sadar) Tapi bagaimana dengan
pekerjaan-pekerjaan ini??? Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya setengah
hati??? Bagaimana mungkin aku tidak peduli??? Bagaimana mungkin aku bisa
mengganggapnya seperti status-status teman-teman mayaku?? Tidak bisa! (lagi-lagi)
Bagian paling keras kepala dalam diriku menuntutku untuk menjalaninya dengan
sepenuh hati. Ya, sepenuh hati. Dan aku, yang selalu kalah dengan “si keras
kepala itu” tidak bisa menolak dan aku pasti (harus) menjalaninya sepenuh hati.
Ya, sepenuh hati dengan rasa kepedulian tingkat tinggi.
(Akhirnya
sadar) Dan, ya, aku tahu, aku sadar, konsekuensi dari
keseriusan itu, konsekuensi dari kesepenuh-hatian itu, konsekuensi dari rasa
peduli tingkat tinggi itu adalah rasa sakit hati, lelah, jenuh, dan pengorbanan
diri yang begitu besar. Aku tahu aku akan menerima beban yang bertubi-tubi,
hujatan, kritik, dan tugas yang akan merampas sebagian besar waktuku.
(sepenuhnya
sadar) Ya, walaupun demikian, aku lebih tahu, aku lebih
sadar. Bahwa bagian paling keras kepala dalam diriku akan memenangkan
pertarungan ini betapa pun konsekuensinya. Aku sudah tahu, aku sudah sadar,
bahwa aku akan melakukan pekerjaan-pekerjaan itu seperti keinginannya; dengan
SEPENUH HATI.
Akhirnya.....!!! Aku
mewujudkan planning “celebrate my 20th-ku”. Ya, meskipun tanggal 14
Mei sudah berlalu sejak lima hari yang lalu, but no problemo. Aku senang hari
ini. Hari ini aku sebut dengan “my day”, “me time”, “solitude time”. Hari ini
aku merayakan tahun ke 20-ku dengan diriku sendiri. Aku melakukan
kegiatan-kegiatan yang aku suka. Aku pergi ke toko buku, pergi ke warung makan
cepat saji favoritku, dan yang terakhir akhirnya aku pergi ke pantai Sindhu. J
“Me time-ku” hari ini
ku awali dengan pergi ke toko buku. Kurang lebih 3 jam ku habiskan untuk
membaca-baca buku yang ingin ku baca. Hahahaha. Hal rutin yang aku lakukan
ketika ke toko buku adalah langsung ke rak novel. Membaca satu atau dua buah
novel yang menarik, membaca beberapa sinopsis novel, dan membeli sebuah novel
yang memang ku rencanakan akan ku beli jauh hari sebelumnya. Kali ini aku
memang sangat ingin membeli novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng. Novel itu
sudah sangat ingin ku miliki sejak pertama kali aku membaca novel karya Clara
Ng yang berjudul Gerhana Kembar. Entahlah, aku jadi jatuh cinta pada Clara Ng
setelah membaca salah satu novelnya.
Seperti biasa, aku
terserang galau di toko buku. Galau karena menemukan begitu banyak buku bagus,
ingin membelinya, tapi apa daya anggaran tidak mencukupi. Sungguh! Itu galau
paling maksimal. (Oya, sebelumnya aku sangat berterima kasih pada ibuku karena
telah “menyuntikkan” dana padaku untuk membeli buku. Ya, seperti yang ku ceritakan
pada tulisanku sebelumnya, aku termasuk orang yang sangat beruntung memiliki
ibu yang mencintai buku dan tidak pernah melarangku membeli buku. Aku anggap
buku yang ku beli adalah hadiah ulang tahun-ku yang ke-20 dari ibuku.) Hari ini
aku menemukan banyak buku bagus yang nyaris mengalahkan Dimsum Terakhir sebagai
kandidat buku yang akan aku beli. Tetapi akhirnya aku menguatkan niatku untuk
membeli Dimsum Terakhir dengan pertimbangan skala prioritas, keinginan yang
sudah lama terpendam, dan buku-buku yang lain itu bisa kubeli di lain
kesempatan. hehehehe
Dan...
Woooaalllaaa....! Dimsum Terakhir dengan cover terbaru kini sudah resmi menjadi
milikku. Aku sangat senang J . Dan seperti biasa, ku tulis tempat
dan tanggal pembelian buku itu di halaman pertamanya.
Setelah pinggangku
sakit karena berdiri selama kurang lebih tiga jam di toko buku dan karena
perutku sudah keroncongan, maka kuputuskan untuk pergi ke warung makan cepat
saji favoritku di kawasan Sanur. Aku makan gratis hari ini karena kakakku memberiku
sebuah kupon bazzar yang bisa ditukar dengan salah satu paket makanan di
restoran cepat saji itu. Dari Denpasar, aku menuju Sanur dan kurang dari 20
menit aku tiba dengan selamat di tempat tujuan :D. Aku menukar kupon itu dengan
seperangkat makanan yang kemudian ku makan dengan tidak berperikemakanan
(maklum laper banget). Oya, karena saking ganasnya, aku juga memesan segelas
eskrim. hehehehe. Setelah menghabiskan semua makanan itu, aku pun membuka mesin
tik ku dan mulai menulis. Seperti biasa, aku menulis semua hal yang ingin aku
tulis. Semua ide yang sebelumnya hanya aku simpan rapi di dalam kepalaku.
Tulisan ini juga termasuk salah satu ide itu.
Ketika kurasa cukup
menulis dan menikmati “me time-ku” di tempat ini, aku pun melanjutkan
perjalananku ke pantai Sindhu. Pantai Sindhu terletak sangat dekat dengan
warung makan cepat saji ini. Tidak lebih dari sepuluh menit aku sudah sampai di
pantai Sindhu. Aku sangat suka pantai ini. Tenang. Tidak ada ombak. Dan
berpasir putih, Aku juga menyempatkan diri berterima kasih pada pantai Sindhu
Karena telah ikut campur tangan dalam pembuatan puisi “Sindhu Senja Hari” ku.
Terima kasih, Sindhu J . Ingat, jangan katakan kepada
kekasihku, kalau aku sering bercerita tentangnya padamu! hahahahaha.
Aku mengakhiri
“me-time” ku hari ini dengan menikmati senja di pantai Sindhu. Aku membiarkan
aroma laut, pasir, dan karang menyatu dalam tubuhku. Menciptakan sebuah
citarasa yang sangat indah dan menenangkan. Ku biarkan ia menghadirkan
kelebat-kelebat kenangan dalam pikiranku seperti slide show foto yang muncul
silih berganti. Aku tersenyum merasakan itu. Ku pejamkan mataku. Selamat
menjalani tahun ke-20 mu Ida Ayu Putri Adityarini, mendewasalah dalam pelukan
semesta.
Sore itu, aku dan
keluargaku pergi bersembahyang di Pura Samuan Tiga. Pura ini terletak di desa
Bedulu-Gianyar. Kami sekeluarga sembahyang kesana dalam rangka piodalan yang
dilaksanakan di pura tersebut. Kami berangkat bertujuh yang terdiri dari aku,
ayahku, ibuku, adikku, kakak iparku, dan dua orang keponakanku. Karena kami
akan pergi ke pura menggunakan sepeda motor dan akan pulang pada malam hari,
aku pun memutuskan untuk memakai kacamataku. Setelah semuanya siap, kami
bertujuh pun berangkat ke pura Samuan Tiga. Jarak pura Samuan Tiga dari rumahku
cukup dekat, kurang lebih 5 km.
Perjalanan menuju pura
kami lewati dengan cukup lancar meskipun suasana lalu lintas di jalan menuju
pura disesaki masyarakat yang juga hendak menghaturkan persembahyangan di pura
Samuan Tiga. Suasana di dalam pura juga tidak terlalu berbeda dengan suasana di
luar pura. Umat begitu banyak memenuhi area persembahyangan. Aku dan keluargaku
pun mengantri untuk mendapat giliran sembahyang. Setelah menunggu kurang lebih
tiga puluh menit, akhirnya tibalah giliran kami untuk bersembahyang. Di pura
Samuan Tiga ini, kami sekeluarga bersembahyang sebanyak dua kali.
Persembahyangan pertama
kami lakukan di pelinggih Ida Ratu Sri
Sedana. Saat persembahyangan pertama inilah bermula keteledoranku dan
kambuhnya penyakit pelupaku. Awalnya, persembahyangan berlangsung seperti
biasa. Para pamedek bersembahyang
dengan khusuk dipimpin oleh seorang pemangku.
Seusai bersembahyang, para pamedek
(termasuk aku) diperciki air suci (tirta) oleh para pemangku. Satu-persatu para pemedek
mendapat giliran diperciki air suci. Sembari menunggu giliran diperciki air
suci, aku pun melepas kacamata yang ku gunakan agar tidak basah oleh tirta. Aku
kemudian menaruh kacamataku itu di atas pangkuanku dan aku menutupinya dengan
selendang yang ku pakai di pinggangku. Akhirnya tiba giliranku diperciki tirta
oleh pemangku. Tirta itu ku raup
sebanyak tiga kali lalu kuusapkan di kepalaku.
Setelah nunas tirta, aku pun berdiri dan
membantu ibuku mengambil sesajen. Aku tidak sadar bahkan tidak ingat pada
kacamataku. Aku berlalu begitu saja mengikuti ayah dan ibuku menuju tempat
persembahyangan yang kedua.
Tempat persembahyangan
yang kedua ini terletak tidak jauh dari tempat persembahyangan yang pertama.
Sampai di tempat persembahyangan yang kedua ini pun aku belum sadar bahwa
kacamataku terjatuh. Aku membantu ibuku menyiapkan sarana persembahyangan dan
mencari tempat duduk untuk bersembahyang. Ketika persembahyangan hendak
dimulai, aku baru menyadari bahwa aku tidak memakai kacamata. Sontak saja, aku
langsung teringat saat persembahyangan pertama tadi. Aku sangat yakin
kacamataku terjatuh ketika aku berdiri setelah nunas tirta.
Aku panik, marah,
sedih, takut, dan menyesal. Bukan karena kacamataku jatuh dan kemungkinan besar
diinjak orang-orang yang berlalu lalang. Tapi aku menyesali diriku sendiri.
Kenapa aku begitu teledor dan pelupa. Kenapa aku bisa melakukan hal bodoh di
saat seperti itu. Aku memberi tahu ibuku. Dia menyuruhku untuk iklhas. Ah,
ibuku memang selalu berkata seperti itu jika aku kehilangan sesuatu atau tidak
dapat meraih sesuatu yang aku inginkan. Beliau berkata, “Jangan pikirkan itu.
Tenangkan dirimu. Sekarang kita akan bersembahyang. Mohon pada sesuhunan di sini agar Beliau
menunjukkan jalannya dan memberi kita keiklhasan. Jika memang benda itu
seharusnya masih menjadi milikmu, kamu pasti akan menemukannya.” Perkataan ibu
memang sedikit membuatku tenang. Tapi aku tetap saja memikirkan kacamataku. Minusku
semakin parah. Aku sudah ketergantungan dengan kacamata itu. Aku tidak ingin
merepotkan ayah dan ibuku untuk membeli kacamata baru. Jujur, saat itu aku
bersembahyang sambil memikirkan kacamataku.
Segera setelah
persembahyangan usai, aku bergegas mencari kacamataku di tempat persembahyangan
pertama tadi. Aku tidak berharap banyak. Aku sudah iklhas jika aku menemukan
kacamataku itu dalam keadaan mengenaskan. Kacamataku berbingkai penuh. Tetapi
warna bingkainya bening, nyaris sama dengan warna kacanya. Sehingga jika tergeletak
sembarangan, sangat sulit membedakannya dengan lingkungan sekitarnya. Apalagi
di keramaian seperti itu.
Ayahku menemaniku ke
tempat persembahyangan pertama. Sementara ibu, adik, ipar dan keponakanku
menunggu di wantilan pura. Ku
ingat-ingat dimana posisiku bersembahyang tadi. Ku cari-cari kacamataku dan
akhirnya....!! Aku menemukannya. Aku menemukan kacamataku! Dan ajaibnya lagi,
kacamataku masih utuh tanpa goresan dan retak sedikitpun! Puji Tuhan! Doaku
terkabul. Perkataan ibuku memang benar. Di balik keiklhasan pasti ada jalan.
Kacamataku jatuh di sela-sela paving yang di pasang berselang-seling dengan
rumput. Kacamataku jatuh di bagian rumput itu yang memang sedikit cekung. Ia
jatuh di atas tumpukan bunga dan canang
yang berserakan. Mungkin itu yang menyebabkan ia terhindar dari injakkan kaki
para pemedek yang sangat banyak
berlalu lalang di sana. Tidak henti-hentinya aku mengucap syukur. Di rumahnya
sendiri, Tuhan membuktikan keajaibannya. Aku hampir saja menangis terharu.
Setelah kudapatkan
kembali kacamataku, aku dan ayahku pun menyusul keluargaku yang lain ke wantilan pura. Ibu langsung menanyakan
tentang kacamataku. Beliau tersenyum ketika mengetahui aku menemukan kacamataku
dalam keadaan selamat. Beliau kembali menasehatiku, “Benar kan yang ibu bilang?
Apapun yang kita alami, kita harus iklhas. Mohon petunjuk kepada-Nya”. Aku
hanya tersenyum sambil menahan airmata yang hendak keluar.
Di perjalanan menuju
tempat parkir yang jaraknya kurang lebih 200 meter dari areal pura, aku dan ibu
berbincang-bincang.
“Bagaimana perasaanmu
tadi ketika kacamatmu hilang?”
“Aku sedih,menyesal,
dan kecewa. Bukan karena kacamataku hilang. Tapi aku sedih karena keteledoranku
dan kenapa aku begitu pelupa. Aku sering sekali seperti ini. Lupa dimana aku
menaruh barang-barangku.”
“Kamu tidak boleh
berkata seperti itu. Kamu tidak boleh memfonis dirimu pelupa. Karena dengan
menyebut dirimu pelupa, berarti kamu memang menciptakan dan menginginkan dirimu
menjadi pelupa. Mohon kepada Tuhan agar memberikan Ketajaman pikiran, ingatan
yang tajam pada diri kita untuk mengingat hal-hal yang baik. Mohon pada Beliau
untuk memberikan Sidhi sajeroning kayika,
sidhi, sajeroning wacika, sidhi sajeroning manacika. Lakukan itu setiap
hari. Tuhan pasti mendengarkan doamu.”
“Nggih, Bu.”
Tempat parkir hampir di
depan mata. Aku dan keluargaku bersiap-siap untuk pulang. Di perjalanan pulang,
aku mencerna dan meresapi dan mensyukuri kejadian tadi. Kejadian tadi memberiku
banyak pelajaran berharga dan juga menciptakan sebuah cerita bagi kacamataku. Dalam
hati aku berkata, “ Tuhan, berilah aku ingatan yang tajam untuk mengingat
sesuatu yang seharusnya aku ingat dan berilah aku keiklhasan yang tidak
terbatas untuk melupakan sesuatu yang tidak seharusnya aku ingat.”
Bisakah kau menjadi setitik hujan di bulan Mei untukku?
Atau menjadi secercah cerah di bulan Desember untukku?
Bisakah kau??
Hanya untukku???
Sekali ini saja, aku ingin menjadi seorang egois
Layaknya anak kecil yang mempertahankan permen-permen di tangannya
Aku tidak akan memberikan hujan bulan Mei-ku
Aku tidak mau membagi cerah bulan Desember-ku
Itu semua hanya milikku
Aku tidak peduli orang lain terbakar terik matahari bulan Mei
Atau kesal pada derasnya hujan bulan Desember
Aku tidak peduli
Itu urusan mereka
Biarkan saja semesta marah padaku
Dan mengutukku karena telah lancang melawan arus
Aku hanya ingin kau yang menjadi hujan bulan Mei-ku
dan cerah bulan Desember-ku
Hujan bulan Mei-ku hanyalah milikku
Cerah bulan Desember-ku juga hanya milikku
Dan kau??
Bisakah kau??
Menjadikan itu dirimu??
Hanya untukku???
North Bali, 06032012
(PoE)
Kamis, 01 Maret 2012
Apa yang aku inginkan sekarang? Aku ingin memejamkan mataku lalu memohon pada Tuhan agar ketika aku membuka mata, kau ada di hadapanku.
“Saya sangat heran melihat orang tega melihat binatang sengsara. coba bayangkan seandainya dia yang punya anak apakah dia tega membuang anaknya seorang. anak yang dilahirkan dengan susah payah begitu juga binatang walaupun seekor binatang mereka masih punya pikiran keibuan. binatang sayang pada anaknya meskipun betina atau jantan tapi mengapa manusia tidak seperti itu. Semestinya manusia2x itu ditukar mental dan fisiknya dengan binatang dan manusia yang berwatak binatang itu akan merasakan bagaimana sakitnya kalalu anak-anaknya dibuang percuma tanpa perlindungan”
Aku tidak sengaja menemukan tulisan itu pada sampul belakang sebuah buku pelajaran Agama Hindu kelas 5 SD di perpustakaan kecil di rumah. Aku sedang menyelesaikan cerpenku. Karena bosan dan tidak mendapat inspirasi, iseng-iseng kubuka buku-buku pelajaran yang memang banyak tersimpan disini. Ya, aku termasuk orang yang beruntung karena memiliki ibu yang sangat mencintai buku. Beliau menyediakan sebuah ruangan berukuran kurang lebih 2x3 meter khusus untuk tempat buku. Buku-buku pelajaranku sejak aku SD hingga SMA ditaruh di sebuah rak kayu di perpustakaan mini ini. Buku-buku dan dokumen-dokumen milik ayah, ibu, dan adikku juga di taruh disini.
Tapi, kali ini bukan perpustakaan mini di rumahku yang akan aku ceritakan. Ini tentang tulisan yang tidak sengaja kutemukan di sampul belakang sebuah buku pelajaran agama Hindu kelas 5 SD itu.
Aku ingat sekali. Tulisan itu adalah tulisanku. Hah, saat membacanya, entahlah, aku ingin tertawa tetapi aku juga kaget. Ingin tertawa karena….hehehehe, benar-benar struktur kalimat yang mencerminkan bahwa itu adalah kalimat-kalimat yang dibuat oleh seorang anak kelas 5 SD. Tapi aku juga kaget (bukan sombong ya J ) diksi atau pilihan kata-kataku saat itu bukanlah kata-kata yang sudah diakrabi oleh anak kelas 5 SD! Kata-kata itu terlalu “tua” untukku saat itu. dari mana aku dapat kata “mental dan fisik”? dari mana aku dapat kata “pikiran keibuan”? Aku sendiri bingung. Atau mungkin otakku sangat cepat merespon acara-acara di televisi atau sangat cepat terpengaruh oleh cerita-cerita yang sering kubaca di majalah anak-anak?? Ah, entahlah. Yang jelas aku sudah menulisnya. Dan yang paling penting kuceritakan adalah mengapa aku sampai menulis tulisan ajaib itu.
Begini ceritanya. Dulu aku punya seekor anjing betina. Namanya Zona. Ia memiliki bulu hitam yang sangat mengkilat. Aku memeliharanya sejak ia kecil. Dia anjing yang baik. Dia sesalu menyambutku ketika aku pulang dari sekolah. Tetapi terkadang ia juga menyebalkan. Ia suka menggigit sandalku dan sering menapakkan jejak kakinya yang kotor di lantai rumahku. Jika sudah seperti itu, ayahku adalah orang pertama yang marah-marah. Hah, salahku juga sebernarnya terlalu memanjakan anjingku itu. Iya, aku sangat memanjakannya. Membiarkannya naik ke rumah dan tidur sembarangan. Dan lambat laun, itupun menjadi kebiasaannya. Tapi anjingku itu juga mengerti, jika ayahku di rumah, ia tidak akan berani naik ke rumahku. Mungkin dia takut dipukul. hahahaha.
Seiring waktu berjalan, Zona si anjing kecil tumbuh menjadi anjing betina remaja, kemudian anjing betina dewasa yang tentunya siap untuk bereproduksi. Aku memang tidak mengikat atau memasukkan anjingku itu ke dalam kandang. Ya, mungkin itu juga yang membuatnya sangat mudah kawin dengan anjing kampung jantan yang sering berkeliaran di gang rumahku. Aku ingat sekali, anjingku itu seperti seorang perempuan cantik yang diperebutkan oleh banyak lelaki. Mungkin juga diantara anjing-anjing itu, Zona memang termasuk anjing betina yang cantik. Sehingga berebutlah para anjing jantan ingin mengawininya.
Dan terjadilah. Zona akhirnya hamil. Entah anjing mana yang menghamilinya. :D . Makin hari hari perut Zona semakin membesar. Mungkin ada 4-6 ekor anak anjing yang ada dalam perutnya. Aku senang sekali melihat anjingku hamil meski sejak hamil Zona jadi lebih galak. Ya, seperti ibu-ibu hamil pada umumnya lah, mungkin saja dia sedang ngidam. hahahahha.
Hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan berlalu, AKHIRNYA….. anak-anak Zona lahir kedunia! Dan aku sendiri yang membantu persalinannya! Karena Zona memang anjing salah asuhan, maka bayangkan saja, anjingku itu melahirkan anak-anaknya di dalam lemari bajuku! Oh My God! Lemari baju plastik bermotif bunga-bunga yang katanya dibelikan oleh ibuku sejak sebelum aku lahir itu kini menjadi kamar persalinan anjingku!! Dan ya, tepat sekali! Orang yang paling jengkel dengan kejadian ini adalah ayahku. Dia memarahiku karena terlalu memanjakan anjingku sehingga dia seenaknya melahirkan di dalam lemari baju. :D
Hahahaha. Tapi aku tidak merasa bersalah sedikitpun. Yang aku tau aku sangat senang saat itu. Aku melihat sendiri bagaimana anak-anak anjing itu keluar dengan masih dibalut oleh plasenta yang rupanya mirip plastik bening. Zona anjingku, lalu memakan plasenta-plasenta pembungkus anak-anaknya agar anak-anaknya bisa bernafas. Satu-persatu plasenta-plasenta itu ia lepaskan dari tubuh anak-anaknya. Aku membantu melepaskan plasenta-plasenta itu dan mengelap anak-anak anjing yang sudah bersih dari plasenta. Aku merasakan keajaiban yang luar biasa disana. Walaupun Zona hanya seekor anjing, tapi aku menangkap mata seorang ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya dari matanya. Aku seakan merasakan kelelahan dan kesakitannya saat ia berusaha mengeluarkan anak-anaknya dari dalam perutnya. Dan juga wajah bahagia saat ia menjilati anak-anaknya satu persatu.
Esoknya, aku memindahkan Zona dan anak-anaknya ke tempat yang telah aku sediakan. Aku pindahkan mereka agar ayahku tidak marah-marah lagi dan agar anak-anak anjingku tidak manja seperti Zona. Ayahku juga menyuruhku memindahkan lemari yang digunakan Zona untuk melahirkan. Selain karena sudah agak reot, ayahku juga tidak akan mau memakai lemari yang sudah digunakan sebagai tempat persalinan anjing :D.
Hari demi hari berlalu, anak-anak anjingku semakin besar dan terlihat lucu. Zona juga semakin bertambah galak. Aku lupa berapa jumlah anak anjingku waktu itu. Yang aku ingat, aku memberi nama “Bobo” pada salah satu anak anjingku. Bobo adalah anjing jantan. Nama itu aku beri karena aku sangat suka membaca majalah Bobo. Hahahahahaha. Satu demi satu anak-anak anjingku diminta oleh tetangga dan saudara-saudaraku untuk dipelihara. Aku sebenarnya sedikit sedih. Tapi ya apa boleh buat, demi masa depan anak-anak anjingku, demi saudara dan tetanggaku, dan juga demi ayahku karena beliau tidak suka ada banyak anjing di rumah, aku relakan saja anak-anak anjingku dipelihara orang lain. Hingga akhirnya hanya tersisa satu ekor anak anjingku, yaitu Bobo. Jadi, di rumahku ada dua ekor anjing yaitu Zona dan Bobo, anaknya.
Bobo tumbuh menjadi anjing jantan yang sehat. Dia anjing yang gemuk. Dia juga sangat friendly pada orang-orang rumah. Bulunya belang seperti macan. Warna bulunya selang-seling antara pirang dan cokelat tua.
Aku semakin bahagia karena memiliki dua ekor anjing yang selalu menyambutku setiap aku pulang sekolah. Zona juga sempat hamil lagi beberapa bulan setelah kehamilan pertamanya. Tapi saat persalinan yang kedua ini, Ia melahirkan di tempat yang “semestinya”. Ia mungkin takut diusir oleh ayahku jika melahirkan di dalam lemari lagi :D . Anak-anak Zona pada kehamilannya yang kedua ini kuberikan pada tetangga dan saudaraku yang ingin memintanya. Karena kata ayahku, cukup dua anjing saja yang ada di rumah. Aku juga tidak akan bisa merawat anak-anak anjing itu. Kali ini aku menuruti kata-kata ayah karena aku sudah merasakan sendiri bagaimana rasanya merawat dua ekor anjing sekaligus sementara kita masih kelas 5 SD.
Bobo kini sudah tumbuh menjadi anjing jantan dewasa dan Zona juga sudah semakin menua. Tapi mereka semakin nakal saja. Mereka lebih sering berada di luar rumah dan baru pulang ketika mereka bosan, lapar, atau ingin tidur. Saat pulang badan mereka biasanya sangat kotor dan bau. Entahlah. Mungkin mereka main ke sawah atau masuk ke dalam selokan di depan rumah. Jika sudah seperti ini, bisa ditebak ayahlah orang yang paling pertama mengusir mereka. Akupun sebenarnya enggan dekat-dekat dengan anjing-anjingku itu jika badan mereka bau. Pernah suatu ketika karena terlalu kesal, aku menyeret mereka agar mau mandi. Anjing-anjingku itu tidak terlalu suka dengan air. Aku harus mengikat mereka di pohon saat memandikan mereka. Ah, sungguh pekerjaan yang sangat menyebalkan.
Semakin hari aku semakin jarang memperhatikan kedua anjingku itu. Ya, mungkin karena aku sibuk belajar dan bermain ke rumah tetangga. Hingga suatu ketika, kejadian yang tidak diinginkan pun terjadi. Kejadian yang membuatku kehilangan anjing-anjingku itu satu-persatu.
Kejadian pertama terjadi saat anjing betinaku, Zona tertabrak sebuah kendaraan di jalan depan rumahku. Kedua kaki belakangnya pincang. Ia tidak lagibisa berjalan dengan normal. Zona memang pernah tertabrak oleh kendaraan sebelumnya. Tapi kali ini adalah tabrakan yang paling parah. Tabrakan yang memaksanya untuk menyeret kedua kaki belakangnya ketika berjalan (baca ngesot). Jujur, aku hampir menangis saat melihat itu. Aku berusaha mengobati lukanya. Kurawat ia semampuku. Kuberi ia makan. Semakin hari kondisinya memang semakin membaik. Tapi Zona adalah anjing yang tidak bisa diam. Meski dengan keadaan seperti itu dia tetap saja pergi kemana-mana. Walhasil, luka yang sebenarnya sudah mulai membaik, menjadi terinfeksi lagi karena kotoran-kotoran yang menempel disana. Aku juga semakin tidak sempat memperhatikannya. Akhirnya ayahku memutuskan untuk membuang Zona di dekat jembatan yang jaraknya kurang lebih satu kilometer dari rumahku. Awalnya aku tidak tahu bahwa ayahku membuang anjingku itu. Informasi bahwa anjingku sudah dibuang, ku dengar dari adikku. Aku menangis sejadi-jadinya di perpustakaan kecil di rumahku. Aku marah. Aku kesal. Aku sedih. Aku kecewa. Aku juga merasa bersalah pada anjingku itu. Semua perasaanku itu aku tulis di sampul belakang sebuah buku agama hindu kelas 5 SD yang isinya sudah kau baca pada awal tulisan ini.
Beberapa saat kemudian ibuku datang menasehatiku. Beliau mengatakan bahwa itu adalah yang terbaik untuk anjingku. “Kau juga tidak akan bisa selalu merawatnya, bukan? Ikhlaskan saja dia. Dan kamu harus berdoa supaya kelak dia lahir kembali menjadi mahluk yang lebih baik” Aku tidak menjawab perkataan ibuku. Aku tidak peduli. Aku terus saja menunduk dan menangis sambil menutupi buku agama yang kutulisi itu.
Setelah Zona, beberapa waktu kemudian aku kehilangan Bobo. Bobo hilang secara misterius. Kata uwakku, saat tengah malam seperti ada orang yang lewat di gang rumahku. Kemudian terdengar suara anjing menggonggong seolah ingin memberontak. Kata uwakku, orang-orang itu adalah pemburu anjing. Mereka memburu anjing untuk dijadikan sate. Aku tahu informasi itu keesokan harinya ketika aku mencari-cari anjingku. Dan bisa kau bayangkan, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain menangis sambil mencaci pemburu anjing brengsek itu! Hah, dan parahnya lagi aku sempat melontarkan sumpah serapah agar kelak mereka dilahirkan sebagai anjing.
Arrrggggh, aku juga kesal. Kenapa orang rumah tidak berusaha melihat apa yang terjadi di gang rumahku saat itu?? Kenapa tidurku begitu lelap sehingga aku tidak menyadari anjingku terancam di-sate?!?
Sejak kejadian-kejadian itu (jujur), aku tidak pernah lagi memelihara anjing di rumah. Aku trauma. Selain itu ayah juga tidak terlalu suka memelihara binatang di rumah (kecuali ayam-ayam kampung “bekas” upacara 42 hari keponakan-keponakanku yang katanya harus dipelihara). Dan sejak kejadian itu juga, entahlah, aku selalu curiga pada pedagang sate kambing. Mungkin kau bisa menebak-nebak kenapa aku merasa seperti itu.
Kini, hampir sembilan tahun kejadian itu berlalu. Rasa trauma dan curiga yang pernah aku rasakan juga semakin memudar. Tapi sampai saat ini, aku benar-benar tidak pernah lagi memelihara anjing di rumah. Yah, karena aku tahu aku akan semakin sibuk dan jarang berada di rumah. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Mungkin suatu saat nanti, ketika aku punya banyak waktu di rumah untuk merawat satu atau beberapa ekor anjing, aku akan memelihara anjing lagi. Karena percaya atau tidak, saat kita menganggap seekor binatang (bukan hanya anjing) sebagai sahabat baik kita, dia bahkan menganggap kita sebagai bagian dari dirinya J . (PoE)