Abu-Abu (2)
....... Lalu, abu-abu pun menjawab...
“Tidak ada yang perlu disalahkan.”,
Abu-abu berkata dengan tenang. Ia bukannya menyerah pada takdir. Ia hanya,
mencoba menerimanya. Tidak. Tidak. Ia bukan mencoba menerimanya. Ia mencoba
memainkannya. Mengikuti permainannya. Bukankah ia ada-juga-karena
sebuah permainan warna? Jadi tidak ada salahnya ia mengikuti permainan yang
memang diciptakan untuk dirinya. Bukan. Bukan. Lebih tepatnya, permainan yang
menciptakan dirinya.
“Tidak ada kesalahan yang terjadi.”,
Abu-Abu berkata dengan lebih tenang. Memang tidak ada kesalahan yang terjadi.
Ia tidak terjadi dari kesalahan. Ia terjadi dari sebuah permainan. Permainan
warna. Ya, permainan warna. Permainan yang menciptakan dirinya. Hitam dan putih
sama-sama kuat. Tidak ada yang mau mengalah di antara mereka. Mereka berdua
bersikukuh memenangkan permainan. Mereka menuntut hak yang sama. Menjadi
pemenang. Lalu apa yang terjadi? Mereka berdua melebur menjadi satu membentuk
warna baru. Abu-Abu. Jadi, katanya lagi, yang terjadi bukanlah kesalahan tetapi
kemenangan sekaligus kekalahan hitam dan putih.
“Tidak ada salahnya menjadi
abu-abu”, Abu-Abu berkata dengan jauh lebih tenang. Abu-abu ya abu-abu. Tidak
lebih dan tidak kurang. Tidak ada yang dirugikan juga, kan? Jika yang diuntungkan?
Siapa yang tahu(?) Jika ada, ya syukur. Jika tidak? Ya tidak apa-apa. Abu-abu
juga tidak rugi. Mungkin, tidak juga untung. Ya, semacam simbiosis komensalisme
dalam pelajaran biologi. Seperti anggrek dengan tanaman inangnya. Ya, siapa
yang menjadi anggrek dan siapa yang menjadi tanaman inang? Ya, siapa saja
boleh. Tidak ada salahnya, kan?
“Aku bahagia menjadi abu-abu.”,
Abu-Abu berkata dengan sangat tenang sambil menghela nafas panjang.
..... Lalu, Abu-Abu melanjutkan pekerjaannya. Ia mencangkul sawah,
mengajar siswa, merawat orang sakit, menjaga keamanan, bernyanyi, menari, menangkap
ikan, menangis, tersenyum, terluka, berbahagia, dan tidak lupa, tetap menjadi
dirinya.
(poe, 19-200813)