Pura Samuan Tiga, 16 Mei 2012
Aku
(Bukan) Pelupa!
Sore itu, aku dan
keluargaku pergi bersembahyang di Pura Samuan Tiga. Pura ini terletak di desa
Bedulu-Gianyar. Kami sekeluarga sembahyang kesana dalam rangka piodalan yang
dilaksanakan di pura tersebut. Kami berangkat bertujuh yang terdiri dari aku,
ayahku, ibuku, adikku, kakak iparku, dan dua orang keponakanku. Karena kami
akan pergi ke pura menggunakan sepeda motor dan akan pulang pada malam hari,
aku pun memutuskan untuk memakai kacamataku. Setelah semuanya siap, kami
bertujuh pun berangkat ke pura Samuan Tiga. Jarak pura Samuan Tiga dari rumahku
cukup dekat, kurang lebih 5 km.
Perjalanan menuju pura
kami lewati dengan cukup lancar meskipun suasana lalu lintas di jalan menuju
pura disesaki masyarakat yang juga hendak menghaturkan persembahyangan di pura
Samuan Tiga. Suasana di dalam pura juga tidak terlalu berbeda dengan suasana di
luar pura. Umat begitu banyak memenuhi area persembahyangan. Aku dan keluargaku
pun mengantri untuk mendapat giliran sembahyang. Setelah menunggu kurang lebih
tiga puluh menit, akhirnya tibalah giliran kami untuk bersembahyang. Di pura
Samuan Tiga ini, kami sekeluarga bersembahyang sebanyak dua kali.
Persembahyangan pertama
kami lakukan di pelinggih Ida Ratu Sri
Sedana. Saat persembahyangan pertama inilah bermula keteledoranku dan
kambuhnya penyakit pelupaku. Awalnya, persembahyangan berlangsung seperti
biasa. Para pamedek bersembahyang
dengan khusuk dipimpin oleh seorang pemangku.
Seusai bersembahyang, para pamedek
(termasuk aku) diperciki air suci (tirta) oleh para pemangku. Satu-persatu para pemedek
mendapat giliran diperciki air suci. Sembari menunggu giliran diperciki air
suci, aku pun melepas kacamata yang ku gunakan agar tidak basah oleh tirta. Aku
kemudian menaruh kacamataku itu di atas pangkuanku dan aku menutupinya dengan
selendang yang ku pakai di pinggangku. Akhirnya tiba giliranku diperciki tirta
oleh pemangku. Tirta itu ku raup
sebanyak tiga kali lalu kuusapkan di kepalaku.
Setelah nunas tirta, aku pun berdiri dan
membantu ibuku mengambil sesajen. Aku tidak sadar bahkan tidak ingat pada
kacamataku. Aku berlalu begitu saja mengikuti ayah dan ibuku menuju tempat
persembahyangan yang kedua.
Tempat persembahyangan
yang kedua ini terletak tidak jauh dari tempat persembahyangan yang pertama.
Sampai di tempat persembahyangan yang kedua ini pun aku belum sadar bahwa
kacamataku terjatuh. Aku membantu ibuku menyiapkan sarana persembahyangan dan
mencari tempat duduk untuk bersembahyang. Ketika persembahyangan hendak
dimulai, aku baru menyadari bahwa aku tidak memakai kacamata. Sontak saja, aku
langsung teringat saat persembahyangan pertama tadi. Aku sangat yakin
kacamataku terjatuh ketika aku berdiri setelah nunas tirta.
Aku panik, marah,
sedih, takut, dan menyesal. Bukan karena kacamataku jatuh dan kemungkinan besar
diinjak orang-orang yang berlalu lalang. Tapi aku menyesali diriku sendiri.
Kenapa aku begitu teledor dan pelupa. Kenapa aku bisa melakukan hal bodoh di
saat seperti itu. Aku memberi tahu ibuku. Dia menyuruhku untuk iklhas. Ah,
ibuku memang selalu berkata seperti itu jika aku kehilangan sesuatu atau tidak
dapat meraih sesuatu yang aku inginkan. Beliau berkata, “Jangan pikirkan itu.
Tenangkan dirimu. Sekarang kita akan bersembahyang. Mohon pada sesuhunan di sini agar Beliau
menunjukkan jalannya dan memberi kita keiklhasan. Jika memang benda itu
seharusnya masih menjadi milikmu, kamu pasti akan menemukannya.” Perkataan ibu
memang sedikit membuatku tenang. Tapi aku tetap saja memikirkan kacamataku. Minusku
semakin parah. Aku sudah ketergantungan dengan kacamata itu. Aku tidak ingin
merepotkan ayah dan ibuku untuk membeli kacamata baru. Jujur, saat itu aku
bersembahyang sambil memikirkan kacamataku.
Segera setelah
persembahyangan usai, aku bergegas mencari kacamataku di tempat persembahyangan
pertama tadi. Aku tidak berharap banyak. Aku sudah iklhas jika aku menemukan
kacamataku itu dalam keadaan mengenaskan. Kacamataku berbingkai penuh. Tetapi
warna bingkainya bening, nyaris sama dengan warna kacanya. Sehingga jika tergeletak
sembarangan, sangat sulit membedakannya dengan lingkungan sekitarnya. Apalagi
di keramaian seperti itu.
Ayahku menemaniku ke
tempat persembahyangan pertama. Sementara ibu, adik, ipar dan keponakanku
menunggu di wantilan pura. Ku
ingat-ingat dimana posisiku bersembahyang tadi. Ku cari-cari kacamataku dan
akhirnya....!! Aku menemukannya. Aku menemukan kacamataku! Dan ajaibnya lagi,
kacamataku masih utuh tanpa goresan dan retak sedikitpun! Puji Tuhan! Doaku
terkabul. Perkataan ibuku memang benar. Di balik keiklhasan pasti ada jalan.
Kacamataku jatuh di sela-sela paving yang di pasang berselang-seling dengan
rumput. Kacamataku jatuh di bagian rumput itu yang memang sedikit cekung. Ia
jatuh di atas tumpukan bunga dan canang
yang berserakan. Mungkin itu yang menyebabkan ia terhindar dari injakkan kaki
para pemedek yang sangat banyak
berlalu lalang di sana. Tidak henti-hentinya aku mengucap syukur. Di rumahnya
sendiri, Tuhan membuktikan keajaibannya. Aku hampir saja menangis terharu.
Setelah kudapatkan
kembali kacamataku, aku dan ayahku pun menyusul keluargaku yang lain ke wantilan pura. Ibu langsung menanyakan
tentang kacamataku. Beliau tersenyum ketika mengetahui aku menemukan kacamataku
dalam keadaan selamat. Beliau kembali menasehatiku, “Benar kan yang ibu bilang?
Apapun yang kita alami, kita harus iklhas. Mohon petunjuk kepada-Nya”. Aku
hanya tersenyum sambil menahan airmata yang hendak keluar.
Di perjalanan menuju
tempat parkir yang jaraknya kurang lebih 200 meter dari areal pura, aku dan ibu
berbincang-bincang.
“Bagaimana perasaanmu
tadi ketika kacamatmu hilang?”
“Aku sedih,menyesal,
dan kecewa. Bukan karena kacamataku hilang. Tapi aku sedih karena keteledoranku
dan kenapa aku begitu pelupa. Aku sering sekali seperti ini. Lupa dimana aku
menaruh barang-barangku.”
“Kamu tidak boleh
berkata seperti itu. Kamu tidak boleh memfonis dirimu pelupa. Karena dengan
menyebut dirimu pelupa, berarti kamu memang menciptakan dan menginginkan dirimu
menjadi pelupa. Mohon kepada Tuhan agar memberikan Ketajaman pikiran, ingatan
yang tajam pada diri kita untuk mengingat hal-hal yang baik. Mohon pada Beliau
untuk memberikan Sidhi sajeroning kayika,
sidhi, sajeroning wacika, sidhi sajeroning manacika. Lakukan itu setiap
hari. Tuhan pasti mendengarkan doamu.”
“Nggih, Bu.”
Tempat parkir hampir di
depan mata. Aku dan keluargaku bersiap-siap untuk pulang. Di perjalanan pulang,
aku mencerna dan meresapi dan mensyukuri kejadian tadi. Kejadian tadi memberiku
banyak pelajaran berharga dan juga menciptakan sebuah cerita bagi kacamataku. Dalam
hati aku berkata, “ Tuhan, berilah aku ingatan yang tajam untuk mengingat
sesuatu yang seharusnya aku ingat dan berilah aku keiklhasan yang tidak
terbatas untuk melupakan sesuatu yang tidak seharusnya aku ingat.”
Poedidith
(Sanur, 19 Mei 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar