Rabu, 23 Mei 2012

Aku (Bukan) Pelupa!


Pura Samuan Tiga, 16 Mei 2012

Aku (Bukan) Pelupa!

Sore itu, aku dan keluargaku pergi bersembahyang di Pura Samuan Tiga. Pura ini terletak di desa Bedulu-Gianyar. Kami sekeluarga sembahyang kesana dalam rangka piodalan yang dilaksanakan di pura tersebut. Kami berangkat bertujuh yang terdiri dari aku, ayahku, ibuku, adikku, kakak iparku, dan dua orang keponakanku. Karena kami akan pergi ke pura menggunakan sepeda motor dan akan pulang pada malam hari, aku pun memutuskan untuk memakai kacamataku. Setelah semuanya siap, kami bertujuh pun berangkat ke pura Samuan Tiga. Jarak pura Samuan Tiga dari rumahku cukup dekat, kurang lebih 5 km.
Perjalanan menuju pura kami lewati dengan cukup lancar meskipun suasana lalu lintas di jalan menuju pura disesaki masyarakat yang juga hendak menghaturkan persembahyangan di pura Samuan Tiga. Suasana di dalam pura juga tidak terlalu berbeda dengan suasana di luar pura. Umat begitu banyak memenuhi area persembahyangan. Aku dan keluargaku pun mengantri untuk mendapat giliran sembahyang. Setelah menunggu kurang lebih tiga puluh menit, akhirnya tibalah giliran kami untuk bersembahyang. Di pura Samuan Tiga ini, kami sekeluarga bersembahyang sebanyak dua kali.
Persembahyangan pertama kami lakukan di pelinggih Ida Ratu Sri Sedana. Saat persembahyangan pertama inilah bermula keteledoranku dan kambuhnya penyakit pelupaku. Awalnya, persembahyangan berlangsung seperti biasa. Para pamedek bersembahyang dengan khusuk dipimpin oleh seorang pemangku. Seusai bersembahyang, para pamedek (termasuk aku) diperciki air suci (tirta) oleh para pemangku. Satu-persatu para pemedek mendapat giliran diperciki air suci. Sembari menunggu giliran diperciki air suci, aku pun melepas kacamata yang ku gunakan agar tidak basah oleh tirta. Aku kemudian menaruh kacamataku itu di atas pangkuanku dan aku menutupinya dengan selendang yang ku pakai di pinggangku. Akhirnya tiba giliranku diperciki tirta oleh pemangku. Tirta itu ku raup sebanyak tiga kali lalu kuusapkan di kepalaku.
Setelah nunas tirta, aku pun berdiri dan membantu ibuku mengambil sesajen. Aku tidak sadar bahkan tidak ingat pada kacamataku. Aku berlalu begitu saja mengikuti ayah dan ibuku menuju tempat persembahyangan yang kedua.
Tempat persembahyangan yang kedua ini terletak tidak jauh dari tempat persembahyangan yang pertama. Sampai di tempat persembahyangan yang kedua ini pun aku belum sadar bahwa kacamataku terjatuh. Aku membantu ibuku menyiapkan sarana persembahyangan dan mencari tempat duduk untuk bersembahyang. Ketika persembahyangan hendak dimulai, aku baru menyadari bahwa aku tidak memakai kacamata. Sontak saja, aku langsung teringat saat persembahyangan pertama tadi. Aku sangat yakin kacamataku terjatuh ketika aku berdiri setelah nunas tirta.
Aku panik, marah, sedih, takut, dan menyesal. Bukan karena kacamataku jatuh dan kemungkinan besar diinjak orang-orang yang berlalu lalang. Tapi aku menyesali diriku sendiri. Kenapa aku begitu teledor dan pelupa. Kenapa aku bisa melakukan hal bodoh di saat seperti itu. Aku memberi tahu ibuku. Dia menyuruhku untuk iklhas. Ah, ibuku memang selalu berkata seperti itu jika aku kehilangan sesuatu atau tidak dapat meraih sesuatu yang aku inginkan. Beliau berkata, “Jangan pikirkan itu. Tenangkan dirimu. Sekarang kita akan bersembahyang. Mohon pada sesuhunan di sini agar Beliau menunjukkan jalannya dan memberi kita keiklhasan. Jika memang benda itu seharusnya masih menjadi milikmu, kamu pasti akan menemukannya.” Perkataan ibu memang sedikit membuatku tenang. Tapi aku tetap saja memikirkan kacamataku. Minusku semakin parah. Aku sudah ketergantungan dengan kacamata itu. Aku tidak ingin merepotkan ayah dan ibuku untuk membeli kacamata baru. Jujur, saat itu aku bersembahyang sambil memikirkan kacamataku.
Segera setelah persembahyangan usai, aku bergegas mencari kacamataku di tempat persembahyangan pertama tadi. Aku tidak berharap banyak. Aku sudah iklhas jika aku menemukan kacamataku itu dalam keadaan mengenaskan. Kacamataku berbingkai penuh. Tetapi warna bingkainya bening, nyaris sama dengan warna kacanya. Sehingga jika tergeletak sembarangan, sangat sulit membedakannya dengan lingkungan sekitarnya. Apalagi di keramaian seperti itu.
Ayahku menemaniku ke tempat persembahyangan pertama. Sementara ibu, adik, ipar dan keponakanku menunggu di wantilan pura. Ku ingat-ingat dimana posisiku bersembahyang tadi. Ku cari-cari kacamataku dan akhirnya....!! Aku menemukannya. Aku menemukan kacamataku! Dan ajaibnya lagi, kacamataku masih utuh tanpa goresan dan retak sedikitpun! Puji Tuhan! Doaku terkabul. Perkataan ibuku memang benar. Di balik keiklhasan pasti ada jalan. Kacamataku jatuh di sela-sela paving yang di pasang berselang-seling dengan rumput. Kacamataku jatuh di bagian rumput itu yang memang sedikit cekung. Ia jatuh di atas tumpukan bunga dan canang yang berserakan. Mungkin itu yang menyebabkan ia terhindar dari injakkan kaki para pemedek yang sangat banyak berlalu lalang di sana. Tidak henti-hentinya aku mengucap syukur. Di rumahnya sendiri, Tuhan membuktikan keajaibannya. Aku hampir saja menangis terharu.
Setelah kudapatkan kembali kacamataku, aku dan ayahku pun menyusul keluargaku yang lain ke wantilan pura. Ibu langsung menanyakan tentang kacamataku. Beliau tersenyum ketika mengetahui aku menemukan kacamataku dalam keadaan selamat. Beliau kembali menasehatiku, “Benar kan yang ibu bilang? Apapun yang kita alami, kita harus iklhas. Mohon petunjuk kepada-Nya”. Aku hanya tersenyum sambil menahan airmata yang hendak keluar.
Di perjalanan menuju tempat parkir yang jaraknya kurang lebih 200 meter dari areal pura, aku dan ibu berbincang-bincang.
“Bagaimana perasaanmu tadi ketika kacamatmu hilang?”
“Aku sedih,menyesal, dan kecewa. Bukan karena kacamataku hilang. Tapi aku sedih karena keteledoranku dan kenapa aku begitu pelupa. Aku sering sekali seperti ini. Lupa dimana aku menaruh barang-barangku.”
“Kamu tidak boleh berkata seperti itu. Kamu tidak boleh memfonis dirimu pelupa. Karena dengan menyebut dirimu pelupa, berarti kamu memang menciptakan dan menginginkan dirimu menjadi pelupa. Mohon kepada Tuhan agar memberikan Ketajaman pikiran, ingatan yang tajam pada diri kita untuk mengingat hal-hal yang baik. Mohon pada Beliau untuk memberikan Sidhi sajeroning kayika, sidhi, sajeroning wacika, sidhi sajeroning manacika. Lakukan itu setiap hari. Tuhan pasti mendengarkan doamu.”
Nggih, Bu.”
Tempat parkir hampir di depan mata. Aku dan keluargaku bersiap-siap untuk pulang. Di perjalanan pulang, aku mencerna dan meresapi dan mensyukuri kejadian tadi. Kejadian tadi memberiku banyak pelajaran berharga dan juga menciptakan sebuah cerita bagi kacamataku. Dalam hati aku berkata, “ Tuhan, berilah aku ingatan yang tajam untuk mengingat sesuatu yang seharusnya aku ingat dan berilah aku keiklhasan yang tidak terbatas untuk melupakan sesuatu yang tidak seharusnya aku ingat.”


Poedidith
(Sanur, 19 Mei 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar